Stefanus Osa Triyatna
Kalau mau membangun ekonomi, bangunlah infrastruktur jalan. Niscaya, cepat atau lambat, kehidupan ekonomi di sepanjang jalan tersebut akan bangkit. Keyakinan itu disampaikan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan di hadapan pengusaha Taiwan beberapa waktu lalu.
Keterbatasan infrastruktur jalan menjadi salah satu kendala yang kerap dilontarkan kalangan pelaku industri di negeri ini. Pertumbuhan infrastruktur jalan tak sebanding dengan pertumbuhan otomotif, akibatnya macet tak terhindarkan.
Menteri Perindustrian MS Hidayat, pertengahan Desember, boleh saja mengutip pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kemacetan jalan menandakan industri sedang bertumbuh. Namun, faktanya kemacetan menimbulkan keresahan berbagai pihak, termasuk industriawan, karena distribusi produk mereka menjadi terhambat dan menimbulkan biaya tinggi.
Menteri Perindustrian, di pengujung 2010 saat berbicara di depan pengusaha di Surabaya dan Bandung, akhirnya mengakui, infrastruktur yang belum memadai menjadi salah satu hambatan pertumbuhan industri, selain masalah pelabuhan, air, dan keterbatasan suplai energi, terutama listrik.
Persoalan lain yang juga menjadi kendala sektor industri di negeri ini adalah kompetensi sumber daya manusia. Hal ini terkait dengan produktivitas dan keterampilan tenaga kerja tersedia.
Kendala lain bagi pertumbuhan industri di dalam negeri adalah ketergantungan terhadap bahan baku serta komponen impor. Mesin-mesin produksi yang sudah tua juga menjadi hambatan bagi peningkatan produktivitas dan efisiensi.
Permasalahan-permasalahan tersebut telah menurunkan daya saing industri dalam negeri. Kementerian Perindustrian telah mengidentifikasinya. Responsnya adalah dibuat Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri.
Namun, fakta di lapangan jauh dari harapan. Regulasi pemerintah pusat tak seiring dengan regulasi pemerintah daerah. Bahkan, di antara kementerian teknis bukan kebijakan sendiri-sendiri, yang membuat ”bingung” dunia usaha.
”Saya memahami keluhan ini karena saya dari kalangan pengusaha. Karena itu, janganlah dunia usaha memusuhi pemerintah. Kita perlu sama-sama membangun Indonesia Incorporated,” ujar Hidayat.
Tahun 2010-2014, Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan industri nonmigas 8,95 persen dan kontribusi industri pengolahan terhadap produk domestik bruto 24,67 persen. Ditargetkan total investasi 2010-2014 mencapai Rp 735,9 triliun.
Untuk mencapai target itu, Kementerian Perindustrian membuat kerangka pembangunan industri nasional. Kerangka itu yang akan menjadi acuan untuk membangkitkan industri agar siap menghadapi perdagangan bebas dan ASEAN Economic Community.
Agar siap menghadapi itu semua, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit, peningkatan daya saing menjadi kunci utama. ”Leadership, mulai dari presiden hingga pejabat pemerintah lainnya, yang mau mengenakan produk dalam negeri juga tidak boleh diabaikan,” ujar Anton.
Di sisi lain, kata Staf Khusus Menperin Benny Soetrisno, peran perbankan harus juga diperhatikan. Tingginya suku bunga kredit investasi, kredit modal kerja, bahkan kredit usaha rakyat (KUR) menjadi penghalang pertumbuhan industri. ”Harus dicari terobosan,” kata Benny.
SDM dan industri
Sementara untuk menyelesaikan persoalan tenaga kerja, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah memperhitungkan dalam peta jalan (roadmap) investasi.
Menurut BKPM, masalah sumber daya manusia harus diselesaikan dengan membangun infrastruktur nonfisik, yakni pendidikan dan kesehatan.
BKPM mencontohkan, di India setiap tahun dihasilkan 1 juta sarjana teknik dan 500.000 dokter. Sementara di Indonesia, dalam 30 tahun terakhir hanya menghasilkan 5.000 lulusan pascasarjana.
”Kalau tidak ada bantuan infrastruktur pendidikan, sebaiknya kita lupakan pembangunan. Lebih baik menjadi pedagang di Pasar Tanah Abang saja. Kita tidak akan bisa melakukan industrialisasi kalau tidak investasi pada hal-hal mendasar ini untuk 10-20 tahun ke depan,” ujar Gita Wirjawan dalam pertemuan dengan Apindo, pertengahan bulan ini.
Berkembangnya industrialisasi juga bisa dilihat dari kebutuhan akan listrik. Di Indonesia, saat ini konsumsi listrik per kapita per tahun hanya 565 kWh, sedangkan China 1.600 kWh, Malaysia 3.100 kWh, dan Singapura 8.000 kWh.
”Untuk naik mengimbangi China, kita harus membangun 3.000 megawatt per tahun selama 25 tahun. Kita empot-empotan membangun pembangkit listrik 3.000 megawatt per tahun, padahal China membangun 7.000 megawatt per tahun dan India 12.000-15.000 megawatt per tahun,” kata Gita.
Untuk infrastruktur jalan, China sudah membangun 4,5 juta kilometer, sementara Indonesia, menurut Gita, baru 440.000 kilometer.
Majunya industrialisasi suatu negara, kata Gita, juga dapat dilihat kebutuhannya terhadap baja. Saat ini konsumsi baja Indonesia baru 30 kilogram per kapita per tahun.
”Untuk menjadi bangsa modern, paling tidak konsumsi bajanya sekitar 500 kilogram per kapita per tahun. Singapura sudah 900 kilogram per kapita, Korea Selatan bahkan 1.200 kilogram per kapita per tahun,” kata Gita.
Ia menjelaskan, untuk meningkatkan konsumsi baja dari 30.000 kg menjadi 50.000 kg per kapita per tahun, lebih dahulu harus dibangun industri baja yang memiliki kapasitas produksi minimal 120 juta ton per tahun. ”Saat ini kapasitas produksi Krakatau Steel baru 3 juta ton per tahun,” ujar Gita.
Menyimak semua problem yang ada, kiranya tak ada yang baru, semuanya pekerjaan rumah lama. Mulai dari sumber daya manusia hingga infrastruktur sudah sejak lama dikeluhkan, tetapi tak kunjung terselesaikan. Akankah tahun 2011, PR ini terselesaikan?
Jumat, 07 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar